Penertiban Prostitusi Kota


Oleh : Daeng Novrial , Pengamat Masalah Sosial


Prostitusi kini cenderung meningkat dengan menyebarnya aktivitas wanita
tunasusila (WTS)/pekerja seks komersial (PSK) hampir di sebagian kota-kota besar
termasuk daerah kita. Hal ini merupakan sebuah masalah tersendiri.

Jika kita amati aktivitas kehidupan pekerja seks tidak terlepas dari
kehidupan dunia malam. Artinya, mereka dapat kita temui hampir di tempat-tempat
hiburan, sepanjang jalan-jalan protokol, sudut kota, dan tidak terkecuali
tempat-tempat umum. Kekhawatira kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang
terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan prakteknya tampa
usaha-usaha menertibkannya.

Selama ini aktivitas mereka berbaur dengan lingkungan sekitar masyarakat
dan terkesan makin meluas dilihat dari jumlah dan tempat mereka melakukan
transaksi seks (lihat saja bagaimana bebasnya pekerja seks di tempat umum
berkeliaran mencari pelanggan). Tentu kita masyarakat resah akan dampak yang
dapat merugikan masyarakat dan pencitraan yang ada di sekitar lingkungan kota,
seperti halnya survei yang dilakukan di Kota Bandar Lampung.

Kalaupun ada sebuah perspektif yang berbeda menyangkut pro/kontra dalam
memandang persoalan ini tidaklah menjadi alasan tidak peduli karena
masing-masing tentu memiliki kepentingan. Akan tetapi, dibutuhkan sebuah
regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan terus berpikir bagaimana
mencari penyelesaian permasalahan mereka.

Menurut pemantauan Dinas Sosial khususnya daerah-daerah tempat prostitusi
yang berada di Kota Bandar Lampung meliputi tempat-tempat hiburan dan mereka
tersebar beberapa tempat mangkalnya WTS atau PSK seperti kawasan daerah
Tanjungkarang Pusat, jalan protokol (pada hotel-hotel melati), eks Pasar Seni
Enggal, eks lokalisasi Pemandangan/Pantai Harapan (Panjang), Jalan Pramuka,
Jalan Urip Sumoharjo, dan sepanjang Jalan Yos Sudarso serta daerah kawasan
daerah Telukbetung.

Sorotan mengenai kegiatan prostitusi atau pelacuran yan bersifat liar
(ilegal) dan bersifat sporadis pada daerah kota menjadi persoalan yang urgent
dan dibutuhkan penanganan secara humanis. Tentu kita mengingat bagaimana
lokalisasi Panjang (Pantai Harapan dan Pemandangan) dibubarkan pemerintah
daerah, akan tetapi persoalan ini tidak bisa memberikan jawaban yang tepat,
terbukti setelah lokalisasi ditutup justru mereka pekerja seks sulit diawasi dan
makin liar.

Di samping itu, kita memahami keberatan masyarakat sekitar lokalisasi yang
merasa terganggu akan praktek legal pelacuran, terutama tokoh agama, masyarakat,
pemuda, dan sebagian masyarat akan dampak adanya lokalisasi. Belum lagi ditambah
sikap reaktif kelompok masyarakat (ormas agama/pemuda) secara luas melakukan
reaksi sosial menentang kegiatan prostitusi. Sebab, hal ini bergantung faktor
adat istiadat, norma-norma susila, dan agama yang menentang segala bentuk
kegiatan pelacuran

Latar Belakang Prostitusi

Berhubungan dengan aktivitas pola pelacuran yang ada selama ini ada,
umumnya mereka berangkat dari keterpaksaan menyangkut persoalan keluarga dan
masalah pribadi, traumatik terhadap kekerasan seksual, dan sulitnya pilihan
(mencari pekerjaan) di tengah-tengah persoalan yang mengimpit hidup mereka.
Hingga mereka terjerumus dalam dunia prostitusi.

Ada beberapa penyebab mengapa persoalan prostitusi sulit ditertibkan dan
terus marak. Menurut pengamat patologi sosial Kartini Kartono, dapat dilihat
dari indikator meningkatnya aktivitas pelacuran antara lain pertama, tidak
adanya undang-undang atau peraturan yang melarang, membatasi, dan mengatur
kegiatan pelacuran secara benar, menyangkut kegiatan tempat-tempat
prostitusi/hiburan. Artinya selain tidak adanya sanksi tegas terhadap
orang-orang/tempat/ dan organisasi yang melakukan kegiatan relasi prostitusi.

Kedua, adanya keinginan dan dorongan manusia menyalurkan kebutuhan seks,
khususnya di luar ikatan perkawinan, makin tidak terkendali, adanya krisis norma
agama, dan sosial sehinggga menimbulkan dekadensi moral.

Ketiga, adanya komersialisasi kegiatan seks sebagai bagian pemuasan
kebutuhan biologis dalam perspektif dunia industri seks atau penunjang usaha
iiegal menjadi legal baik dari kepentingan biologis, ekonomis, maupun politik.

Menganalisis persoalan prostitusi tentu memiliki motif lain, seperti
adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita muda untuk menghindari
kesulitan hidup adalah alasan klasik. Selain itu untuk mendapatkan kesenangan
melalui jalan pintas alasan praktis, ditambah lagi faktor persoalan kurangnya
pendidikan, trauma kekerasan seksual adalah faktor pendukung aktivitas pekerjaan
sebagai wanita tunasusila (WTS).

Jenis Prostitusi dan Lokalisasi

Menurut aktivitasnya, prostitusi pada dasarnya terbagi dua jenis. Pertama,
prostitusi yang terdaftar dan memperoleh perizinan dalam bentuk (lokalisasi)
dari pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dibantu pengawasan kepolisian dan
bekerja sama Dinas Kesehatan. Umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah/area
tertentu.

Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau
petugas kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan seperti
pemberian suntikan untuk menghindari penyakit-penyakit berkenaan dengan
prostitusi.

Sedangkan kedua, adalah jenis prostitusi yang tidak terdaftar bukan
lokalisasi, adapun yang termasuk kelompok ini ialah mereka yang melakukan
kegiatan prostitusi secara gelap dan liar, baik perorangan maupun kelompok
terorganisasi.

Adapun Perda No .15 Tahun 2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi, yang
mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum
mampu membuat jera jika mereka melakukan kegiatan pelacuran. Perda ini cenderung
kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun
dinas yang terkait.

Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan
efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan
penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari
atau organizer tempat-tempat hiburan.

Dengan demikian, kalau kita megevaluasi kegiatan penertiban selama ini
lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi
sidang di tempat dan kalupun ingin bebas bersyarat, dapat membayar denda uang
yang besarnya tidak lebih dari Rp150 ribu/orang.

Melihat banyaknya pekerja seks komersial yaag berkeliaran tentu masyarakat
mengaharapkan Pemerintah Kota Bandar Lampung bersama instansi terkait cepat
tanggap dan segera mengambil tindakan secara periodik dengan terus mengadakan
razia (penertiban) dan melokalisasi di tempat yang tersendiri dan meminimalisasi
kegiatan prostitusi sebagai usaha menjauhi dampak masyarakat sekitar.

Artinya kita sudah saatnya memikirkan kerugian lebih besar bila prostitusi
dibiarkan begitu saja tampa adanya pengaturan regulasi dan (lokalisasi).

Dampak dan Akibat

Kini di Indonesia, penderita HIV/AIDS terus meningkat tiap tahunnya, sejak
penyakit ini menyerang awal 1987. Diperkirakan sampai akhir 2003 penderita
HIV/AIDS mencapai 3.614 orang, dengan 332 korban meninggal dunia (sumber:
Lampung Post).

Sedangkan menurut data yang diperoleh Dinas Sosial dan Kesehatan Provinsi
Lampung sepanjang 2003 diperkirakan 64 orang positif HIV (human immunodeficiency
virus) dengan perbandingan peningkatan dua kali lipat (100%) dibandingkan tahun
sebelumya sebanyak 33 kasus yang positif. Terjadinya peningkatan penderita HIV
yang luar biasa berdampak kepada kekhawatiran kita mengenai persoalan ini.

Adapun penyebab perkembangan penyakit HIV/AIDS yang paling utama lebih
disebabkan hubungan seks bebas (pelacuran), meluasnya pekerja seks bebas ysng
masih beroperasi di tempat pelacuran dengan lokasi berpindah-pindah tentu
berakibat meluasnya penularan penyakit kelamin dan sulitnya pengawasan.

Tudingan prostitusi dianggap sebagai 80% faktor utama tentu beralasan
karena pelaku seks bebas kini mengidap virus HIV/AIDS yang sangat mematikan dan
belum ditemukan obatnya. HIV/AIDS timbul dan berkembang sangat cepat karena
dunia pelacuran tetap saja berkembang. Di mana negara-negara yang sedang
berkembang paling banyak menghadapi persoalan kasus pelacuran termasuk pelacuran
anak dengan berbagai alasan penyebab.

Pekerja seks komersial yang melakukan profesinya dengan sadar/sukarela dan
terpaksa berdasarkan motivasi-motivasi tertentu, seperti halnya melakukan tugas
melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa orang yang menjanjikan
pekerjaan, yang terdiri dari sindikat organisasi gelap dengan bujukan dan janji
yang manis, ratusan bahkan ribuan gadis dari desa dijanjikan mendapat pekerjaan,
tetapi justru dunia prostitusi yang dijadikan pekerjaan mereka.